Tentang asal mula bahasa ini didasarkan
pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah seorang filsuf Yunani yang bemama
Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam bunyi-bunyi alam
merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang
benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi.
Menurut pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan
tiruan bunyi alam yang didengar manusia dan lingkungannya.
Sejalah dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.
Teori lain yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.
Teori-teori yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.
Suara yang sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”, orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle do”.
Teori yang lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha... ha...” timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit, bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.
Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.
Selain teoni-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, di wilayah yang sekarang dianggap sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Istilah "Melayu" sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi. Akibat penggunaannya yang luas, berbagai varian bahasa dan dialek Melayu berkembang di Nusantara.
Ada tiga teori yang dikemukakan tentang asal-usul penutur bahasa Melayu (atau bentuk awalnya sebagai anggota bahasa-bahasa Dayak Malayik). Kern (1888) beranggapan bahwa tanah asal penutur adalah dari Semenanjung Malaya dan menolak Borneo sebagai tanah asal. Teori ini sempat diterima cukup lama (karena sejalan dengan teori migrasi dari Asia Tenggara daratan) hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 bukti-bukti linguistik dan sejarah menyangkal hal ini (Adelaar, 1988; Belwood, 1993) dan teori asal dari Sumatera yang menguat, berdasarkan bukti-bukti tulisan. Hudson (1970) melontarkan teori asal dari Kalimantan, berdasarkan kemiripan bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu) dengan bahasa Melayu Kuna, penuturnya yang hidup di pedalaman, dan karakter kosa kata yang konservatif.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Sejalah dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.
Teori lain yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.
Teori-teori yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.
Suara yang sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”, orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle do”.
Teori yang lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha... ha...” timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit, bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.
Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.
Selain teoni-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, di wilayah yang sekarang dianggap sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Istilah "Melayu" sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi. Akibat penggunaannya yang luas, berbagai varian bahasa dan dialek Melayu berkembang di Nusantara.
Ada tiga teori yang dikemukakan tentang asal-usul penutur bahasa Melayu (atau bentuk awalnya sebagai anggota bahasa-bahasa Dayak Malayik). Kern (1888) beranggapan bahwa tanah asal penutur adalah dari Semenanjung Malaya dan menolak Borneo sebagai tanah asal. Teori ini sempat diterima cukup lama (karena sejalan dengan teori migrasi dari Asia Tenggara daratan) hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 bukti-bukti linguistik dan sejarah menyangkal hal ini (Adelaar, 1988; Belwood, 1993) dan teori asal dari Sumatera yang menguat, berdasarkan bukti-bukti tulisan. Hudson (1970) melontarkan teori asal dari Kalimantan, berdasarkan kemiripan bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu) dengan bahasa Melayu Kuna, penuturnya yang hidup di pedalaman, dan karakter kosa kata yang konservatif.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa.[5]
Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat,
meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah
penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi
bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke
dalam tiga tahap utama, yaitu
- Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
- Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
- Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun
demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut
saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai
tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran
penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis
dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa
Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya
kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di
pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan
Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai
ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga
diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli
bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan"
dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer
sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris)
mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap
penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada
paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan
alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di
Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku
pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan
membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari
induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia
masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka, atau "bahasa
Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen
adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan
huruf Latin untuk penggunaan di Hindia-Belanda. Ia juga menjadi
penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20
tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal
luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi
identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres
Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat
menjadi bahasa kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa,
sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah populer
dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi di
dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain
varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya
berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan
bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat meluasnya
penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang Belanda
yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan bahasa
Belanda juga menyebabkan bahasa Melayu menjadi semakin populer.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) berencana menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN,
dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur
dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah terealisasikan, tetapi
ASEAN sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.