Senin, 26 Desember 2011

Asal Mula Bahasa Dan Bahasa Melayu

Tentang asal mula bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah seorang filsuf Yunani yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam bunyi-bunyi alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi. Menurut pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi alam yang didengar manusia dan lingkungannya.

Sejalah dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.

Teori lain yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.

Teori-teori yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.

Suara yang sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”, orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle do”.

Teori yang lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha... ha...” timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit, bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.

Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.

Selain teoni-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, di wilayah yang sekarang dianggap sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Istilah "Melayu" sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi. Akibat penggunaannya yang luas, berbagai varian bahasa dan dialek Melayu berkembang di Nusantara.

Ada tiga teori yang dikemukakan tentang asal-usul penutur bahasa Melayu (atau bentuk awalnya sebagai anggota bahasa-bahasa Dayak Malayik). Kern (1888) beranggapan bahwa tanah asal penutur adalah dari Semenanjung Malaya dan menolak Borneo sebagai tanah asal. Teori ini sempat diterima cukup lama (karena sejalan dengan teori migrasi dari Asia Tenggara daratan) hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 bukti-bukti linguistik dan sejarah menyangkal hal ini (Adelaar, 1988; Belwood, 1993) dan teori asal dari Sumatera yang menguat, berdasarkan bukti-bukti tulisan. Hudson (1970) melontarkan teori asal dari Kalimantan, berdasarkan kemiripan bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu) dengan bahasa Melayu Kuna, penuturnya yang hidup di pedalaman, dan karakter kosa kata yang konservatif.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa.[5] Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka, atau "bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia-Belanda. Ia juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi di dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Melayu menjadi semakin populer.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) berencana menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN, dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah terealisasikan, tetapi ASEAN sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.

Makalah Ilegal Logging

Sepanjang sebulan masa kampanye, masalah lingkungan dan hutan paling banyak diberitakan. Jumlahnya sama dengan informasi mengenai program presiden terhadap lingkungan. Sedangkan track record capres-cawapres terhadap lingkungan terbilang sedikit, (Selengkapnya simak tabel 5).
Meski terdapat asumsi berita media massa cetak lebih dalam ketimbang media massa cetak, namun untuk urusan lingkungan terjadi pola yang sama: berita pendek sekedar informasi. Bahkan berita Rakyat Merdeka hanya menyebut : menerima masukan mengenai illegal logging (Kompas, 23/06/04, Rakyat Merdeka, 22/06/04, Suara Pembaruan, 21/06/04).
Hal ini menyebabkan mampatnya informasi mengenai kepedulian capres-cawapres terhadap isu lingkungan dan hutan. Yang patut digarisbawahi, beberapa berita hanya menempatkan isu mengenai lingkungan di sela-sela isu lain. Alhasil berita yang disampaikan hanya 2 atau 3 paragraf, terselip di antara paragraph-paragraf lain dalam lajur berita peristiwa kampanye.
Namun terdapat pula berita yang mengulas masalah lingkungan secara panjang lebar. Misalnya dalam rubrik Prespektif (Mega Beri Bukti Bukan Janji) dalam Harian Suara Pembaruan. Rubrik ini kerap mengulas panjang lebar sosok Megawati dalam bingkai positif, salah satunya mengenai lingkungan. Narasumber yang dipilih adalah Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup.
Terdapat kemungkinan ini merupakan bentuk kerjasama Suara Pembaruan dengan tim sukses Megawati. Semisal iklan berita atau advertorial. Berita yang menceritakan penyosokan Megawati ini diimbuhi track record Mega, yang pada 15 Agustus 2003, dalam pidato kenegaraannya menempatkan program lingkungan sebagai salah satu dari sembilan prioritas pembangunan. (Lihat Tabel 13. Tema Berita Lingkungan Hidup dalam Kampanye Pemilihan Presiden di Suratkabar, 1 Juni-1 Juli 2004 dan Tabel 14. Narasumber Berita Lingkungan Hidup dalam Kampanye Pemilihan Presiden di Suratkabar, 1 Juni-1 Juli 2004)
Berita bersumber pemerintah itu, salah satunya memberikan informasi mengenai Megawati yang peduli terhadap lingkungan. Judul yang dipilih Suara Pembaruan (11/06/04) adalah Nabiel Bercerita Bunga Anggrek di Meja Mega. Pemilihan judul ini tentunya menguatkan sisi feminin Mega yang bertautan dengan soal lingkungan. Mega digambarkan sebagai pelindung dan perawat lingkungan (feminine) melawan kekuatan perusak lingkungan (maskulin).
Pembaca seolah dibawa kepada citra Megawati yang tak aji mumpung, menggarap lingkungan di saat kampanye. Sebab, Megawati peduli lingkungan sejak dahulu. Simak nukilan pembuka berita Suara Pembaruan:
Di mata Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, kepedulian Presiden Megawati Soekarnoputri kepada lingkungan bukan sesuatu hal yang datang secara tiba-tiba, atau terkait dengan pemilihan presiden.
Megawati yang dikenal menyukai tanaman memiliki komitmen jelas mengenai lingkungan hidup di Indonesia.
Sumber: Suara Pembaruan (11/06/04)
Penyosokan positif lainnya terdapat dalam judul Megawati Cinta Lingkungan, dengan narasumber Agus “Pungky” Purnomo, Peneliti Senior LSM Pelangi sekaligus Direktur Wahana Lingkungan Hidup. Pungky lebih banyak memuji Megawati ketimbang menyodorkan fakta sebenarnya. Kalimat seperti :
Diakuinya, selama 25 tahun bergelut di bidang pelestarian lingkungan, belum pernah melihat seorang kepala negara yang menunjukkan kepedulian mendalam pada kelestarian lingkungan hidup.
Sumber: Suara Pembaruan (11/06/04)
Sejatinya masalah llegal logging dan perusakan hutan lainnya meningkat sejak lima tahun terakhir. Pungky seolah tak mengamati kerusakan hutan yang meningkat pesat lima tahun terakhir, akibat pemain illegal logging bertambah banyak. Hal itu terjadi karena pengusaha-pengusaha yang mengantongi HPH di zaman Orde Baru terlilit hutang dan menghentikan operasinya. Berganti dengan pengusaha-pengusaha baru, baik kecil maupun besar.
Sementara jatah tebangan tahunan melalui rencana karya tahunan (RKT) yang ditetapkan pemerintah dengan realisasi penebangan kayu di lapangan besar pasak daripada tiang. RKT 2004 ditetapkan sebesar 5,7 juta m3, namun volume kayu yang ditebang per tahun mencapai 80 juta m3 atau 14 kali lebih besar dari jatah resmi. Hal ini akibat permintaan industri kayu dalam dan luar negeri meningkat pesat. Di dalam negeri sendiri kapasitas terpasang industri kayu olahan amat besar sekitar 74 juta m3 per tahun, sehingga menciptakan permintaan yang sangat besar.
Sedangkan informasi mengenai program kerja capres-cawapres dapat ditemui dalam Suara Pembaruan (30/06/04) rubrik Pemilu Presiden 2004. Kubu Amien Rais-Siswono Yudo Husodo menjanjikan semua persoalan korupsi, masuknya beras impor, dan illegal logging akan dibenahi. Mereka juga menjanjikan berani memberantas kejahatan penebangan liar (illegal logging). Sementara Megawati-Hasyim menawarkan pengurangan eksploitasi hutan secara berlebihan dengan melalui penetapan kuota perdagangan kayu hasil hutan (Suara Pembaruan, 30/06/04).
Lalu bagaimana media massa cetak memberitakan isu persoalan hutan berkaitan dengan kampanye? dari berita yang dianalisis, dapat disimpulkan, meski media massa cetak memungkinkan menggarap berita lebih dalam, namun tak dilakukan oleh media. Alhasil tak berbeda antara liputan televisi dan media cetak. Informasi mengenai masalah kehutanan berkaitan dengan kampanye mampat sudah.
Illegal logging pada umumnya sebatas disebut namun tak ada penjelasan rinci. Hanya Amien Rais dalam programnya menyebut akan memberantas penebangan liar (illegal logging) bila terpilih menjadi presiden (Suara Pembaruan, 30/06/04).
Uniknya, pemaparan program Megawati dan Hasyim Muzadi terbilang sangat sering dalam Suara Pembaruan, ketimbang capres lain. Malah Megawati-Hasyim Muzadi ditulis dalam dua artikel: Program Lima Tahun Megawati-Hasyim di Bidang Ekonomi: Peningkatan Daya Saing Internasional (Suara Pembaruan, 11/06/04 dan 15/06/04).
Suara Pembaruan (15/06/04) memaparkan pada edisi 2, empat program Megawati-Hasyim, salah satunya berwawasan lingkungan. Program yang mengangkat isu di luar illegal logging, yakni pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan, laut, tambang, air, daan lingkungan hidup yang berkesinambungan. Termasuk mencegah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih ramah.
Tema illegal logging diberitakan pula dalam rubrik Sosok, yang memberi informasi mengenai profil Amien Rais. Sayangnya, rubrik ini tak menekankan kebijakan apa yang akan dia ambil. Berita ini sebatas pemaparan kehancuran hutan pada tahun-tahun terakhir. Amien mengatakan banyak pejabat pemerintah yang mengetahui adanya praktek pembalakan hutan, namun mereka tampaknya tak berdaya. Mereka mengetahui adanya penebangan liar, apalagi penebangan itu dilakukan dengan peralatan berat, (Kompas, Memimpin dengan Niat Lurus, 23/06/04). Namun pada Kompas (04/06/04) Amien menyatakan, pemberantasan illegal logging sangat bergantung kepada keberanian pemerintah untuk memberantasnya.
Dalam Kompas (23/6/04) berjudul Amien Rais: Saya harus Menyelesaikan Reformasi, Amien memprogramkan akan menghentikan dengan sungguh-sungguh pencurian pasir di Riau. Sedangkan Megawati memiliki program yang unik untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Dia menyerukan sistem bank pohon, yakni dunia usaha dan masyarakat berperan secara aktif mempercepat pemulihan kerusakan ekologis. Caranya, antara lain pemerintah menyediakan bibit pohon, lalu bersama-sama masyarakat melakukan reboisasi di lahan-lahan kritis.
Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, di mana Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut Megadiversity Country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna yang banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Dalam kenyataannya pemanfaatan hutan alam yang telah berlangsung sejak awal 1970-an ternyata memberikan gambaran yang kurang menggembirakan untuk masa depan dunia kehutanan Indonesia. Terlepas dari keberhasilan penghasil devisa, peningkatan pendapatan, menyerap tenaga kerja, serta mendorong pembangunan wilayah, pembangunan kehutanan melalui pemanfaatan hutan alam menyisakan sisi yang buram. Sisi negatif tersebut antara lain tingginya laju deforestasi yang menimbulkan kekhawatiran akan tidak tercapainya kelestarian hutan yang diperkuat oleh adanya penebangan liar (Illegal Logging).
Penebangan liar yang mencapai jantung-jantung kawasan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi menunjukkan peningkatan dan parahnya situasi penebangan liar. Penebangan liar adalah penyebab utama penggundulan hutan di Indonesia yang mencapai tingkat kecepatan 1.6 – 2.0 juta hektar per tahun sehingga Menteri Kehutanan Indonesia telah menempatkan pembasmian aktivitas penebangan liar termasuk perdagangan kayu illegalsebagai agenda utama dalam lima kebijakan utama sektor kehutanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian kebijakan ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pendekatan-pendekatan yang lebih proaktif.
Penebangan liar merupakan sebuah bencana bagi dunia kehutanan Indonesia yang berdampak luas bagi kondisi lingkungan, politik, ekonomi dan sosial budaya Indonesia. Mengingat hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai definisi dan latar belakang terjadinya illegal logging, siapa aktornya?, bagaimana polanya?, apa dampaknya?, bagaimana proses penegakan hukumnya?, mengapa sulit dihentikan? dan bagaimana upaya penanggulanngannya?.
Definisi Ilegal Logging
Menurut konsep manajemen hutan sebetulnya penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam kerangka konsep manajemen hutan.
Penebangan liar dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang dilindungi, area konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan.
Dengan kata lain, batasan/pengertian illegal logging adalah meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak. Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak didemarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat.
Terjadinya kegiatan penebangan liar di Indonesia didasari oleh beberapa permasalahan yang terjadi, yaitu :
Masalah Sosial dan Ekonomi
Sekitar 60 juta rakyat Indonesia tergantung pada keberadaan hutan, dan kenyataanya sebagian besar dari mereka hidup dalam kondisi kemiskinan. Selain itu, akses mereka terhadap sumberdaya hutan rendah. Kondisi tersebutlah kemudian dimanfaatkan oleh para pemodal yang tidak bertanggung jawab, untuk mengeruk keuntungan cepat dengan menggerakkan masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Hal ini diperburuk dengan datangnya era reformasi dan demokratisasi, yang disalah tafsirkan yang mendorong terjadinya anarki melalui pergerakan massa. Yang pada gilirannya semakin menguntungkan para raja kayu dan pejabat korup yang menjadi perlindungan mereka.
Dampak Ilegal Logging
Kegiatan penebangan kayu secara liar (illegal logging) telah menyebabkan berbagai dampak negatif dalam berbagai aspek, sumber daya hutan yang sudah hancur, selama masa orde baru  kian menjadi rusak akibat maraknya penebangan liar dalam jumlah yang sangat besar. Kerugian akibat penebangan liar memiliki dimensi yang luas tidak saja terhadap masalah ekonomi, tetapi juga terhadap masalah sosial, budaya, politik dan lingkungan.
Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh illegal logging , mencapai Rp.30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya DR dan PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost). Sebenarnya pendapatan yang diperoleh masyarakat (penebang, penyarad) dari kegiatan penebangan liar adalah sangat kecil karena porsi pendapatan terbesar dipetik oleh para penyandang dana (cukong). Tak hanya itu, illegal logging juga mengakibatkan timbulnya berbagai anomali di sektor kehutanan. Salah satu anomali terburuk sebagai akibat maraknya illegal logging adalah ancaman proses deindustrialisasi sektor kehutanan. Artinya, sektor kehutanan nasional yang secara konseptual bersifat berkelanjutan karena ditopang oleh sumber daya alam yang bersifat terbaharui yang ditulang punggungi oleh aktivitas pengusahaan hutan disektor hulu dan industrialisasi kehutanan di sektor hilir kini tengah berada di ambang kehancuran.
Dari segi sosial budaya dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah serta antara baik dan buruk. Hal tersebut disebabkan telah lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan, sering hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar.
Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka.
Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi. Dampak yang lebih parah lagi adalah kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi (irreversible).
Proses Penegakan Hukum
Upaya memberantas kegiatan illegal logging telah dilakukan tetapi belum meperlihatkan hasil yang maksimal karena masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Terdapat beberapa kasus penebangan liar dan korupsi yang berhasil dibawa ke pengadilan, namun hampir semuanya mendapat hukuman ringan atau bahkan bebas sama sekali. Hakim mungkin dipengaruhi oleh penyokong dana penebangan liar dan orang-orang yang mewakilinya. Hakim sebagai aparat pemerintah mungkin juga menghadapi tekanan untuk membuat keputusan yang menguntungkan bagi para aktor intelektual pembalakan liar. Penegakan hukum sebagai salah satu solusi yang dapat diandalkan dalam menyelesaikan permasalahan illegal logging diperlukan adanya perbaikan moral dan kemampuan aparat penegak hukum termasuk didalamnya pemberian reward dan punishment. Selain itu diperlukan adanya inovasi dengan menggunakan perangkat hukum yang baru (Undang-undang Korupsi dan Undang-undang tindak pencucian uang) untuk menangkap otak dibalik tindak kejahatan illegal logging serta perlunya dibuat proses pengadilan yang lebih mudah untuk menghukum mereka.